Ajian Waringin
Sungsang ini merupakan salah satu “puncak ilmu” kejadukan/ kanoman kanuragan
yang dimiliki oleh para pendekar digdaya masa lalu. Ajian Waringin
Sungsang memiliki efek yang sangat mematikan. Siapa yang diserang ajian ini
akan terserap energi kesaktiannya dan mengalami lumpuh hingga akhirnya roboh
tidak berdaya. Dan dengan memiliki ajian ini muncul energi pertahanan kekuatan
tubuh yang sangat hebat. Maka, para pendekar yang memiliki Ajian Waringin
Sungsang ini bisa dipastikan akan disegani kawan sesama pendekar maupun musuh.
Ajian Waringin
Sungsang diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Dia juga menciptakan banyak ilmu
kedigdayaan lain seperti aji lembu sekilan dan lainnya. Kenapa Sunan Kalijaga
menciptakan ilmu kedigdayaan yang begitu banyak? Salah satu alasan
logisnya yaitu pada masa itu banyak kejahatan dari golongan pendekar yang
beraliran ilmu hitam dan banyaknya ahli sihir yang mempraktekkan ilmu-ilmu
sihir yang menggunakan kekuatan buruk. Mereka berkuasa dan ditakuti oleh
masyarakat awam.
Untuk menaklukkan kalangan pendekar berilmu hitam dan meyakinkan
kepada masyarakat umum bahwa sumber kekuatan ilmu kanuragan tetap dari Tuhan
Yang Maha Kuasa. Ini terlihat dari rapal-rapal ilmu kedigdayaan ciptaan Sunan
Kalijaga selalu bernuansa religius dan menyertakan “nama” Tuhan.
Ajian Waringin Sungsang memiliki falsafah yang mendalam. Waringin
Sungsang berarti pohon beringin yang terbalik dimana akarnya berada di atas,
seperti pohon kalpataru. Pohon waringin sungsang ini bermakna sumber kehidupan
segala yang ada, sumber kebahagiaan, keagungan, serta sumber asal mula
kejadian. Maka pohon ini juga disebut pohon purwaning dumadi atau pohon sangkan
paran.
Di dalam waringin sungsang, juga terdapat ular yang melilit pohon
tersebut. Ini melambangkan jasmani dan rohani yang telah menyatu dalam
perilaku. Maka, seorang pendekar pemilik ilmu waringin sungsang ini adalah
orang yang sudah manunggal atau menyatu kehendak lahir dan kehendak batinnya.
Ilmu ini hanya dimiliki oleh para pendekar sepuh atau ‘tua’ sehingga tidak
digunakan sembarangan karena efeknya yang melumpuhkan.
Pohon berasal dari kayu atau kayon, berasal dari bahasa Arab
‘khayyu’ yang artinya hidup. Dalam ilmu kalam ‘khayyu’ hanya merupakan sifat
sejatinya Tuhan. Di dalam Al Quran dinyatakan; “Allahu la illaha illa huwal
hayyu qayyum” yang artinya Tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang hidup kekal lagi
terus menerus mengurus makhluknya. (QS, 2, 255).
Karena begitu tingginya falsafah yang terkandung dalam ajian
Waringin Sungsang ini, maka hanya kepada para pendekar yang sudah
“menyelesaikan” urusan diri sendirilah ilmu ajian ini boleh diwariskan.
Ajian Waringin Sungsang dirapalkan sebagai
berikut:
Sun amatek ajiku
Waringin Sungsang
wayahipun tumuruna,
ngaubi awak mami, tur tinuting bala, pinacak suji kembar, pipitu jajar maripit,
asri yen siyang, angker kalane wengi.
Duk samana akempal
kumpuling rasa, netraku dadi dingin, netra ningsun emas, puputihe mutyara,
ireng-ireng wesi manik, ceploking netra, waliker uda ratih.
Idep ingsun kekencang
bang ruruwitan, alisku sarpa mandi, kiwa tengen pisan, cupakku surya kembar,
kedepku pan kilat tatit, kang munggeng sirah, wesi kekenten adi.
Rambut kawat sinomku
pamor anglayap, batuk sela cendani, kupingku salaka, pilingan ingsun gangsa,
irungku wesi duaji, pasu kulewang, pipiku wesi kuning.
Watu item lungguhe ing
janggut ingwang, untuku rajeg wesi, lidah wesi abang, aran wesi mangangkang,
iduku tawa sakalir, lambeku iya, sela matangkep kalih.
Guluku-ningsun paron
wesi galigiran, jaja wesi sadacin, pundak wesi akas, walikat wesi ambal,
salangku wesi walulin, bauku denda, sikutku pukul wesi.
Asta criga epek-epek
ingsun cakra, cakar wok jempol kalih, panuduh trisula, panunggulku musala,
mamanisku supit wesi, jentikku iya, ingaran pasopati.
Bebokongku sela ageng kumalasa,
akawet wesi gilig, ebol-ingsun karah, luput denda kang tinja, balubukan entut
mami, uyuhku wedang, dakarku purasani.
Jembut kawat gantungaku
wesi mentah, walakang wesi gapit, pupu kalataka, sungsum ingsun gagala, ototku
gungane wesi, ing dalamkan, ingaran kaos wesi.
Sampun pepak
sarira-ningsun sadaya, samya pangawak wesi, pan ratuning braja, manjing aneng
sarira, tan ana braja ndatengi, dadya wiyana, ayu sarira mami.
Ana kidung sun-angidung
bale anyar, tanpa galar asepi, ninis samun samar, patining wuluh kembang, siwur
burut tanpa kancing, kayu trisula, gagarannya calimprit.
Sumur bandung sisirah
talaga mancar, tibeng jaja ajail, dinding endas parah, ulur-ulur liweran,
tatambang jaringing maling, dadal dadnya, gagulung ing gagapit.
Naga raja pangawasan
manik kembang, kembang gubel abaji, tajem neng kandutan, udune sarwi nungsang,
kurangsangan angutipil, angajak-ajak.”